Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri Bagian 1
Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri
Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan.
Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun, barangkali hanya sedikit yang mau memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam “memaknainya”.
Pendahuluan
Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syariat pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Idul Adha. Karena itu, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat. Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai?
Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi Idul Fitri yang sebenarnya sebagaimana yang dimaukan oleh syariat.
Bila Ramadan sudah berjalan tiga minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian, arus mudik mulai meningkat, dan berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah-olah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syariat memang mutlak diperlukan. Jika tidak demikian, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dilihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan oleh syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Apabila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak. Tidak pula harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi. Tidak harus mudik juga karena bersilaturahim dengan sanak famili sebenarnya bisa dilakukan kapan saja. Dengan mengetahui bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi membutuhkan biaya besar. Semuanya akan terasa lebih mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.
Ibnu A’rabi mengatakan, “Id[1] dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (al-Lisan, hlm. 5)
Ibnu Taimiyah berkata, “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang, berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan, maupun bulanan.” (Dinukil dari Fathul Majid, hlm. 289, tahqiq al-Furayyan)
Id (hari raya) dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jumat.
“Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai dua hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Apa (yang kalian lakukan) dengan dua hari itu?” Mereka menjawab, “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliah.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Sahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani)
Shalat Id merupakan amalan sunnah yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa.
Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Shalat Id hukumnya fardu kifayah
Dengan demikian, jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya, mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari mazhab Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari mazhab Hanafi dan Syafi’i.
Hukumnya fardu ain (atas setiap orang), seperti halnya shalat Jumat.
Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Imam asy-Syafi’i (sendiri) mengatakan dalam (buku) Mukhtashar al-Muzani,
“Barang siapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat, dia juga wajib menghadiri shalat dua hari raya. Ini menegaskan bahwa hukumnya fardu ain.” (Diringkas dari Fathul Bari, Ibnu Rajab, 6/75—76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada—wallahu a’lam—adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut ini.
Dari Ummu Athiyah radhiyallahu anha ia mengatakan,
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid, dia menjauhi tempat shalat, tetapi ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin.
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim, “Kitabul ‘Idain”, “Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa”)
Perhatikanlah perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbab pun tidak mendapatkan uzur. Dia tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
“Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya uzur … Sebab, keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat. Wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Id adalah bahwa shalat Id menggugurkan shalat Jumat bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan at-Ta’liqat ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179—186, as-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hlm. 344)
Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang intinya, “Apakah untuk shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?”
“Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan, “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama, yaitu shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering melakukan safar dan melakukan tiga kali umrah selain umrah haji. Beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau. Beliau pun berperang lebih dari dua puluh kali. Namun, tidak seorang pun menukilkan bahwa beliau melakukan shalat Jumat dan shalat Id dalam safarnya ….” (Majmu’ Fatawa, 24/177—178)
عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari Malik, dari Nafi, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan). (Sahih, HR. Malik dalam al-Muwaththa’, dan Imam asy-Syafi’i dari jalannya dalam al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada Ali radhiyallahu anhu tentang mandi. Ali radhiyallahu anhu berkata, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.”
Ia menjawab, “Tidak, mandi yang benar-benar mandi.” Ali radhiyallahu anhu berkata, “Hari Jumat, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. al-Baihaqi, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’, 1/176—177)
عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Musa bin Uqbah, dari Nafi, bahwa Ibnu Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul Fitri. (Sahih, Riwayat al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata, “Disunnahkan untuk mandi pada hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi pada hari Id. Demikian pula yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa. Disunnahkan juga untuk memakai pakaian terbagus yang dia dapati serta memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)
Umar radhiyallahu anhu mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar. Kemudian dia membawanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Umar radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berkata, “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat) ….” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabul Jum’ah”, “Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi”, dan Muslim, “Kitab Libas waz Zinah”)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini hal yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)
Makan Sebelum Berangkat Shalat Id
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Rasulullah tidak keluar di hari Idul Fitri sebelum beliau makan beberapa kurma.” Murajja’ bin Raja berkata, “Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya, “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj”)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat shalat Id. Di antara mereka adalah Ali dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
1. Menyelisihi ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
2. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
3. Shalat Idul Fitri disunnahkan dilaksanakan lebih siang (dibandingkan dengan Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda halnya dengan shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلَاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلَاةَ قَطَعَ التَّكْبِيرَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar di hari raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat hingga shalat dimulai. Apabila telah selesai shalat beliau berhenti bertakbir.” (Sahih, Mursal az-Zuhri, HR. Ibnu Abi Syaibah dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dengan syawahid-nya dalam ash-Shahihah, no. 171)
“Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin, yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat. Namun, banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran Nabi) ini sehingga hampir-hampir menjadi sekadar berita (tentang yang dahulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta menampakkannya terang-terangan.
Lafaz Takbir
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ
Namun, Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Said dari al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir. Dalam salah satu riwayat Ibnu Abbas disebutkan,
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)
Banyak ulama menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu melaksanakan shalat dua hari raya di mushalla. Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam pergi pada hari Idul Adha ke Baqi lalu shalat dua rakaat. Beliau menghadap kepada kami dengan wajahnya dan mengatakan, ‘Sesungguhnya, awal ibadah kita pada hari ini dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang dan menyembelih kurban. Barang siapa yang sesuai dengan itu, berarti telah sesuai dengan sunnah ….’” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab Istiqbalul Imam an-Nas Fi Khuthbatil ‘Id”)
“Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar dan shalat di Baqi’. Namun, yang dimaksud bukanlah Nabi shalat di kuburan Baqi’, melainkan tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’. Nama Baqi’ meliputi seluruh daerah tersebut.
Ibnu Zabalah juga telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah (sampai) di lima tempat, hingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Rasulullah dahulu keluar pada hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla. Yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Beliau kemudian berpaling dan berdiri di hadapan manusia, sedangkan mereka duduk di saf-saf mereka. Kemudian beliau menasihati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Apabila beliau ingin mengutus suatu utusan, beliau melakukannya saat itu; atau beliau ingin memerintahkan sesuatu, beliau perintahkan saat itu, lalu beliau pergi.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar” dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, “Itu adalah tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
“Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pergi bersama orang-orang pada hari Idul Fitri atau Idhul Adha. Ia mengingkari lambatnya imam. Ia pun berkata, ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Waktu itu adalah ketika tasbih.” (Sahih, HR. al-Bukhari secara mua’llaq, “Kitabul ‘Idain”, “Bab at-Tabkir Ilal ‘Id”, 2/456; Abu Dawud, “Kitabush Shalat”, “Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id”, 1135; Ibnu Majah “Kitab Iqamatush Shalah was Sunan fiha”, “Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain”, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Waktu tersebut adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang sahih yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani disebutkan, ketika waktu shalat sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal rahimahullah berkata,
“Para ahli fikih bersepakat bahwa shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (al-Fath, 2/457)
Ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah ketika terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini adalah pendapat Imam Malik.
Adapun pendapat yang pertama adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Sebab, menurut Ibnu Rajab rahimahullah, “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi bin Khadij, dan sekelompok tabiin bahwa mereka tidak keluar menuju shalat Id kecuali ketika matahari telah terbit. Bahkan, sebagian mereka shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Apakah Waktu Idul Fitri Lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
2. Waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri disunnahkan diakhirkan, sedangkan waktu pelaksanaan shalat Idul Adha disunnahkan disegerakan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad.
Pendapat kedua ini dianggap kuat oleh Ibnu Qayyim. Beliau mengatakan, “Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam melambatkan shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Ibnu Umar, dengan semangatnya untuk mengikuti As-Sunnah, tidak keluar hingga matahari telah terbit dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427; Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmah melambatkan shalat Idul Fitri ialah semakin meluas waktu yang disunnahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Adapun hikmah menyegerakan shalat Idul Adha ialah semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberati manusia untuk menahan diri tidak makan hingga mereka memakan hasil kurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105—106)
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلَا يَوْمَ الْأَضْحَى. ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِينٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ: أَنْ لَا أَذَانَ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِينَ يَخْرُجُ الْإِمَامُ وَلَا بَعْدَ مَا يَخْرُجُ، وَلَا إِقَامَةَ وَلَا نِدَاءَ وَلَا شَيْءَ، لَا نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلَا إِقَامَةَ
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar radhiyallahu anhuma melakukan shalat Id tanpa azan dan iqamah.”
Imam Malik rahimahullah berkata, “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami. Para ulama bersepakat bahwa azan dan iqamah dalam shalat dua hari raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan:
Namun, pendapat yang kuat bahwa seruan ini juga tidak disyariatkan.
Adapun riwayat dari az-Zuhri merupakan riwayat mursal, yang tentu tergolong dha’if (lemah). Sementara itu, pengkiasan dengan shalat Kusuf tidaklah tepat karena keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya, pada shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga diperlukan seruan semacam itu, sementara pada shalat Id tidak demikian. Orang-orang justru sudah berangkat menuju tempat shalat dan berkumpul di sana. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata, “Pengkiasan di sini tidak sah. Sebab, ada dalil sahih yang menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak ada azan dan iqamah atau apa pun untuk shalat Id. Dari sini diketahui bahwa panggilan untuk shalat Id adalah bid’ah, dengan lafaz apa pun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau memulai shalat tanpa azan dan iqamah, juga tanpa ucapan “ash-shalatu jami’ah.” Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatu pun dari (panggilan-panggilan) itu.” (Zadul Ma’ad, 1/427)
Pada prinsipnya, tata caranya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun, ada sedikit perbedaan, yaitu ditambah takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua ditambah 5 kali takbir, selain takbiratul intiqal (takbir perpindahan gerakan).
*Bagian 1