Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri Bagian 2
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir rukuk, sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu anha,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ
“Rasulullah bertakbir pada (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali, selain dua takbir rukuk.” (HR. Abu Dawud dalam “Kitabush Shalat”, “Bab at-Takbir fil ’Idain”, ‘Aunul Ma’bud, 4/10; Ibnu Majah no. 1280; dinilai sahih oleh Syaikh al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1149)
Pertanyaan, “Apakah lima takbir pada rakaat yang kedua termasuk takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?”
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut adalah selain takbiratul intiqal. (al-Istidzkar, 7/52, dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan, “Tentang tujuh takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?”
1. Pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa tujuh takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178; Aunul Ma’bud, 4/6; Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah)
2. Pendapat Imam asy-Syafi’i, bahwa tujuh takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Tampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Imam asy-Syafi’i, berdasarkan riwayat yang mendukungnya. Riwayat tersebut dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً، سَبْعًا فِي الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ، سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الصَّلَاةِ
Adapun lafaz ad-Daraquthni,
سِوَى تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ
“Selain takbiratul ihram.” (HR. ath-Thahawi dalam Ma’ani al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah; ad-Daruquthni, 2/47—48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan. Namanya Abdullah bin Abdurrahman ath-Thaifi. Akan tetapi, hadits ini dinilai sahih oleh Imam Ahmad, Ali bin al-Madini, dan Imam al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh at-Tirmidzi. (lihat at-Talkhis, 2/84, tahqiq as-Sayyid Abdullah Hasyim al-Yamani; at-Ta’liqul Mughni, 2/18; dan Tanwirul ‘Ainain, hlm. 158)
Bacaan surah pada dua rakaat shalat Id: semua surah yang ada boleh dan sah untuk dibaca.
Akan tetapi, dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca pada rakaat yang pertama “sabbihisma” (surah al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “hal ataaka” (surah al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama beliau membaca surat Qaf dan pada rakat kedua membaca surah al-Qamar. (Keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427—428)
1. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Imam asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat bahwa doa istiftah dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (al-Umm, 3/234 dan al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hlm. 149)
Khotbah Id
Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khotbah. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata,
شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
Dalam berkhotbah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar. Beliau mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Bahkan, beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan sedekah, karena kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku menyaksikan shalat Id bersama Rasulullah. Ketika selesai shalat, beliau berkata, ‘Kami berkhotbah, barang siapa ingin duduk untuk mendengarkan khotbah, silakan duduk. Barang siapa ingin pergi, silakan.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan an-Nasai; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun, alangkah baiknya untuk mendengarkan khotbah apabila itu berisi nasihat-nasihat untuk bertakwa kepada Allah shallallahu alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengan agama dan As-Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya apabila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah kecuali kekacauan di masyarakat. Wallahu a’lam.
Wanita yang Haid Tetap Berangkat
Sutrah adalah benda—bisa berupa tembok, tiang, tongkat, atau lainnya—yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya. Tingginya kurang lebih satu hasta.
Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak memerlukan dan diperbolehkan lewat di depan makmum. Ini adalah sunnah yang ditinggalkan oleh mayoritas manusia. Oleh karena itu, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam shalat Id.
“Dahulu, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya. Kemudian beliau shalat ke hadapannya, sedangkan orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu dalam safarnya. Dari situlah, para pimpinan melakukannya juga.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabush Shalat”, “Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah” dan “Kitabul ‘Idain”, “Bab ash-Shalat Ilal Harbah Yaumul ‘Id”;’ lihat al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
Apabila Masbuk (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, apabila pergi melalui suatu jalan menuju shalat Id agar pulang dari jalan yang berbeda. Itu adalah pendapat Imam Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan Ahmad … Seandainya dia pulang dari jalan yang sama, tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya. Di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166—167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)
Zaid menjawab, “Beliau shalat Id lalu memberikan keringanan pada shalat Jumat dan mengatakan, ‘Barang siapa ingin mengerjakan shalat Jumat, silakan shalat’.”
“Pendapat yang ketiga dan inilah yang benar, bahwa yang ikut shalat Id, maka gugur darinya kewajiban shalat Jumat. Akan tetapi, imam hendaklah tetap melaksanakan shalat Jumat supaya orang yang ingin mengikuti shalat Jumat dan orang yang tidak ikut shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Beliau mengatakan juga bahwa yang tidak shalat Jumat tetap melaksanakan shalat Zuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak shalat Zuhur pula, di antaranya Atha. Akan tetapi, ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat at-Tamhid, 10/270—271)
Ibnu Hajar mengatakan, “Kami meriwayatkan dalam al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata, ‘Apabila para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertemu pada hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain,
Ditulis oleh Ustadz Qomar ZA, Lc.