MENGURAI BENANG KUSUT NIKAH SIRI
Oleh : Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Pernikahan adalah sebuah akad untuk menghalalkan hubungan yang agung dan luhur antara pria dengan wanita yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujun mencapai keluarga sakinah, mawaddah serta saling menyantuni antara keduanya.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum : 21)

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah : 187)

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".” (QS. Al-A’raf : 189)

Suatu akad pernikahan menurut hukum Islam ada yang sah dan ada yang tidak sah, hal ini dikarenakan akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan syar’I, sebaliknya akad yang tidak sah adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun pernikahan.

Diantara syarat-syarat pernikahan adalah :

Adanya kepastian siapa mempelai laki laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakn “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementra ia memiliki beberapa orang putri

Keridhaan dari masing-masing pihak. Dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam

لاتنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah / dimintai persetujuannya dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya” (HR Bukhari, Muslim)

Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda

لانكاح الا بولي

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali”. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dishahihkan Al Albani dalam Al irwa)

Beliau juga bersabda

أيما امرأة نكحت بغير اذن مواليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحها  باطل

 “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil" (HR Abu Daud dishahihkan al Albani rahimahullah)

Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali, maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan ini pendapat yang benar dan kuat.

Persaksian atas akad nikah tersebut, dalilnya Nabi shalallahu’alaii wasallam bersabda,
لا نكاح الا بولي وشاهدي عدل
“Tidak ada pernikahan kecuai dengan adanya wali dan dua saksi yang adil” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lainnya dishahihkan Al Albani)

Imam At Tirmidzi rahimahullah mengatakan “Pengamalan hal ini ada di kalangan Ahlul Ilmi, baik dari kalangan sahabat nabi shalallahu’alaihi wasallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin”. (Sunan At Tirmidzi 2/284)

Adapun rukun-rukun nikah adalah sebagai berikut;

Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan tidak terlarang secara syar’I untuk menikah, seperti adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan atau si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya.

Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Dengan mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (Aku nikahkan engkau dengan fulanah) atau “An kahtuka Fulanah” (Aku nikahkan engkau dengan Fulanah)

Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya dengan mengatakan “Qabiltu hadzan nikah atau qabiltu hadzat tazwij (Aku terima pernikahan ini) atau qabiltuha. (Lihat Majalah Asy Syariah edisi 39 tanggal 17 november 2011)

Menikah secara Siri

Nikah siri tampaknya telah menjadi topik pembicaraan yang cukup hangat di Indonesia, terlebih ketika banyak pihak yang melakukannya dari berbagai kalangan. Sehingga masyarakat pun mempopulerkan nya dengan berbagai istilah, seperti kawin bawah tangan, kawin diam-diam, kawin lari dan sebagainya.

Karena semakin ramainya istilah nikah siri dan semakin banyak yang menyukainya, orang-orang yang memiliki niat menghancurkan citra islam memanfaatkan istilah nikah siri ini utk melegalkan perbuatan haram seperti, prostitusi, mut’ah bahkan trafficking, seperti yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan, dengan munculanya sebuah situs yang menawarkan nikah siri online. Dan inilah yang patut untuk diwaspadai, sebab pernikahan adalah syariat yang suci, dan tidak ada hubungan yang dapat menjaga kesucian seorang muslim dan muslimah kecuali melalui pernikahan yang sah.

Dalam pengertian masyarakat ketika mendengar kata nikah siri, seringkali yang terbayang adalah nikah yang diharamkan. Padahal tidak juga, karena nikah siri ini tetap sah ketika memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Setidaknya ada tiga pengertian yang penting untuk diketahui menyangkut praktek nikah siri ini.

Pengertian pertama, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa saksi dan wali. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh imam asy syafi’I di dalam kitab al um. Diriwayatkan dari malik dari abu Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “Ini adalah nikah siri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya)”. (HR Malik, ahmad dan yang lainnya). Pernikahan siri dalam bentuk yang pertama hukumnya tidak sah.

Pengertian kedua, nikah siri adalah nikah yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khalayak ramai. Para Ulama pun berbeda pendapat tentang hukum nikah yang seperti ini. Ada yang menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh, dan ini pendapat mayoritas para ulama seperti imam syafi’I, imam ahmad dan yang lainnya, diantara alasannya adalah suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap telah sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khalayak umum. Namun ada juga yang berpendapat hukum nikahnya tidak sah.

Pengertian ketiga, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam Lembaga pencatatan negara, dalam hal ini adalah KUA. Hukum nikah dalam pengertian yang ketiga ini sah dan tidak bertentangan dengan ajaran islam karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi, sehingga tidak ada dosa.

Berkata al Allamah asy Syaikh Sholhh bin Fauzan al Fauzan hafidzahullah “ Apabila sudah terpenuhi syarat-syarat akad nikah, seperti adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya keridhaan dari kedua mempelai, maka nikahnya sah ditambah lagi jika tidak ada hal-hal syar’i yang menghalanginya walaupun tidak mengumumkannya kepada khalayak umum. Karena kehadiran saksi dan wali, ini sudah teranggap mengumumkan pernikahan, dan sebagai bentuk pengumuman yang paling minimal. Maka nikahnya sah insyaallah apabila terpenuhi padanya syarat-syarat yang telah disebutkan tadi, dan tentu semakin luas pengumumannya maka itu semakin utama”. (islamway.net)

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, pernikahan dibawah tangan atau nikah siri hukumnya sah. Asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah. “Rukun pernikahan dalam islam antara lain ada pengantin laki-laki, pengantin perempuan,wali, dua orang saksi, mahar serta ijab dan qabul”, kata Zainut kepada Republika.co.id, senin (25/9). Namun demikian MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, Nabi shalallahu’alaihi wasallam mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul’ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai wajib hukumnya, namun nabi shalallah’alihi wasallam sangat menganjurkannya.

Nabi shalallahu’alihi wasallm bersabda

اولم ولو بشاة

“Adakan walimah walaupun dengan (menyembelih) seekor kambing” (HR. Bukhari, Muslim)

Wallahu’alam.

Disalin Dari Majalah Qonitah Edisi 35/Vol 03/1439H - 2018

MENGURAI BENANG KUSUT NIKAH SIRI

MENGURAI BENANG KUSUT NIKAH SIRI
Oleh : Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Pernikahan adalah sebuah akad untuk menghalalkan hubungan yang agung dan luhur antara pria dengan wanita yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujun mencapai keluarga sakinah, mawaddah serta saling menyantuni antara keduanya.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum : 21)

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah : 187)

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".” (QS. Al-A’raf : 189)

Suatu akad pernikahan menurut hukum Islam ada yang sah dan ada yang tidak sah, hal ini dikarenakan akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan syar’I, sebaliknya akad yang tidak sah adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun pernikahan.

Diantara syarat-syarat pernikahan adalah :

Adanya kepastian siapa mempelai laki laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakn “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementra ia memiliki beberapa orang putri

Keridhaan dari masing-masing pihak. Dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam

لاتنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah / dimintai persetujuannya dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya” (HR Bukhari, Muslim)

Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda

لانكاح الا بولي

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali”. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dishahihkan Al Albani dalam Al irwa)

Beliau juga bersabda

أيما امرأة نكحت بغير اذن مواليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحها  باطل

 “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil" (HR Abu Daud dishahihkan al Albani rahimahullah)

Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali, maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan ini pendapat yang benar dan kuat.

Persaksian atas akad nikah tersebut, dalilnya Nabi shalallahu’alaii wasallam bersabda,
لا نكاح الا بولي وشاهدي عدل
“Tidak ada pernikahan kecuai dengan adanya wali dan dua saksi yang adil” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lainnya dishahihkan Al Albani)

Imam At Tirmidzi rahimahullah mengatakan “Pengamalan hal ini ada di kalangan Ahlul Ilmi, baik dari kalangan sahabat nabi shalallahu’alaihi wasallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin”. (Sunan At Tirmidzi 2/284)

Adapun rukun-rukun nikah adalah sebagai berikut;

Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan tidak terlarang secara syar’I untuk menikah, seperti adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan atau si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya.

Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Dengan mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (Aku nikahkan engkau dengan fulanah) atau “An kahtuka Fulanah” (Aku nikahkan engkau dengan Fulanah)

Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya dengan mengatakan “Qabiltu hadzan nikah atau qabiltu hadzat tazwij (Aku terima pernikahan ini) atau qabiltuha. (Lihat Majalah Asy Syariah edisi 39 tanggal 17 november 2011)

Menikah secara Siri

Nikah siri tampaknya telah menjadi topik pembicaraan yang cukup hangat di Indonesia, terlebih ketika banyak pihak yang melakukannya dari berbagai kalangan. Sehingga masyarakat pun mempopulerkan nya dengan berbagai istilah, seperti kawin bawah tangan, kawin diam-diam, kawin lari dan sebagainya.

Karena semakin ramainya istilah nikah siri dan semakin banyak yang menyukainya, orang-orang yang memiliki niat menghancurkan citra islam memanfaatkan istilah nikah siri ini utk melegalkan perbuatan haram seperti, prostitusi, mut’ah bahkan trafficking, seperti yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan, dengan munculanya sebuah situs yang menawarkan nikah siri online. Dan inilah yang patut untuk diwaspadai, sebab pernikahan adalah syariat yang suci, dan tidak ada hubungan yang dapat menjaga kesucian seorang muslim dan muslimah kecuali melalui pernikahan yang sah.

Dalam pengertian masyarakat ketika mendengar kata nikah siri, seringkali yang terbayang adalah nikah yang diharamkan. Padahal tidak juga, karena nikah siri ini tetap sah ketika memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Setidaknya ada tiga pengertian yang penting untuk diketahui menyangkut praktek nikah siri ini.

Pengertian pertama, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa saksi dan wali. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh imam asy syafi’I di dalam kitab al um. Diriwayatkan dari malik dari abu Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “Ini adalah nikah siri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya)”. (HR Malik, ahmad dan yang lainnya). Pernikahan siri dalam bentuk yang pertama hukumnya tidak sah.

Pengertian kedua, nikah siri adalah nikah yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khalayak ramai. Para Ulama pun berbeda pendapat tentang hukum nikah yang seperti ini. Ada yang menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh, dan ini pendapat mayoritas para ulama seperti imam syafi’I, imam ahmad dan yang lainnya, diantara alasannya adalah suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap telah sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khalayak umum. Namun ada juga yang berpendapat hukum nikahnya tidak sah.

Pengertian ketiga, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam Lembaga pencatatan negara, dalam hal ini adalah KUA. Hukum nikah dalam pengertian yang ketiga ini sah dan tidak bertentangan dengan ajaran islam karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi, sehingga tidak ada dosa.

Berkata al Allamah asy Syaikh Sholhh bin Fauzan al Fauzan hafidzahullah “ Apabila sudah terpenuhi syarat-syarat akad nikah, seperti adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya keridhaan dari kedua mempelai, maka nikahnya sah ditambah lagi jika tidak ada hal-hal syar’i yang menghalanginya walaupun tidak mengumumkannya kepada khalayak umum. Karena kehadiran saksi dan wali, ini sudah teranggap mengumumkan pernikahan, dan sebagai bentuk pengumuman yang paling minimal. Maka nikahnya sah insyaallah apabila terpenuhi padanya syarat-syarat yang telah disebutkan tadi, dan tentu semakin luas pengumumannya maka itu semakin utama”. (islamway.net)

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, pernikahan dibawah tangan atau nikah siri hukumnya sah. Asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah. “Rukun pernikahan dalam islam antara lain ada pengantin laki-laki, pengantin perempuan,wali, dua orang saksi, mahar serta ijab dan qabul”, kata Zainut kepada Republika.co.id, senin (25/9). Namun demikian MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, Nabi shalallahu’alaihi wasallam mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul’ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai wajib hukumnya, namun nabi shalallah’alihi wasallam sangat menganjurkannya.

Nabi shalallahu’alihi wasallm bersabda

اولم ولو بشاة

“Adakan walimah walaupun dengan (menyembelih) seekor kambing” (HR. Bukhari, Muslim)

Wallahu’alam.

Disalin Dari Majalah Qonitah Edisi 35/Vol 03/1439H - 2018

Tidak ada komentar