DAKWAH ILALLAH DAN AKHLAQ SEORANG DA'I BAG : II


Poin Kedua :

Cara pelaksanaan dakwah dan sarana-sarananya



Adapun cara dakwah dan sarana-sarananya, maka Allah Azza wa Jalla telah menjelaskannya di dalam kitab-Nya yang mulia dan di dalam sunnah Nabi-Nya ’alaihish Sholatu was Salam. Ayat yang paling terang tentang hal ini adalah firman Alloh Jalla wa ’Ala :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl : 125)

Allah Subhanahu menerangkan cara yang sepatutnya seorang da’i bersifat dengannya dan menggunakannya, dan yang pertama adalah dengan hikmah. Yang dimaksud dengan hikmah adalah dalil-dalil yang memuaskan lagi terang yang dapat menyingkap kebenaran dan membantah kebatilan. Oleh karena itulah sebagian ulama ahli tafsir menafsirkannya dengan ”Al-Qur`an”, karena Al-Qur`an adalah hikmah yang paling agung yang menjelaskan dan menerangkan kebenaran dengan cara yang paling sempurna. Sebagian ulama ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa makna hikmah adalah dengan dalil-dalil Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Betapapun demikian, hikmah itu adalah suatu kata yang agung. Artinya adalah  : berdakwah kepada Alloh dengan ilmu dan bashiroh, dan dengan dalil-dalil yang memuaskan yang dapat menyingkap dan menjelaskan kebenaran. Hikmah itu adalah kata yang terhimpun padanya berbagai makna, bermakna nubuwwah (kenabian), bermakna ilmu dan fiqh (pemahaman) agama, bermakna akal, bermakna waro’ (sikap kehati-hatian dari perkara yang haram, pent.) dan makna-makna lainnya.

Namun secara asalnya, sebagaimana diutarakan oleh asy-Syaukani rahimahullahu : perkara yang dapat mencegah dari kebodohan, itulah yang disebut dengan hikmah. Ini artinya bahwa, setiap kata atau ucapan yang dapat menghalangimu dari kebodohan dan mencegahmu dari kebatilan maka itulah hikmah. Demikian pula dengan setiap ucapan yang jelas lagi terang, shahih di dalam ucapannya, dapat disebut dengan hikmah.

Maka, ayat-ayat Al-Qur`an adalah lebih utama disebut dengan hikmah. Juga demikian dengan sunnah Nabi yang shahih, juga lebih utama disebut dengan hikmah setelah Kitabullah, dimana Allah sendiri telah menyebutnya hikmah di dalam Kitab-Nya yang agung, sebagaimana firman-Nya Jalla wa ’Ala :

وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

”Dan yang mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” Yaitu : As-Sunnah.

Dan sebagaimana di dalam firman-Nya Subhanahu :

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

”Dia memberikan hikmah kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan barangsiapa yang ia beri hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.”

Dalil-dalil yang terang juga disebut dengan hikmah. Ucapan yang jelas lagi selaras dengan kebenaran disebut juga dengan hikmah, sebagaimana telah lewat pembahasannya.

Termasuk makna hikmah adalah al-Hakamah (tali kekang) yang berada di mulut seekor kuda, yaitu kata hikmah dengan menfathah huruf ha` dan kaaf (baca : hakamah, pent.). Dinamakan demikian dikarenakan hakamah (tali kekang) tersebut akan menahan kuda dari melanjutkan perjalanan apabila penunggangnya menarik hakamah (tali kekang) ini.

Hikmah adalah kata yang dapat menahan orang yang mendengarkannya dari melanjutkan kebatilannya, mengajaknya untuk mengambil kebenaran dan dia terpengaruh dengannya serta ia berhenti pada batasan Allah Azza wa Jalla.

Maka wajib bagi para da’i agar berdakwah ke jalan Allah Azza wa Jalla dengan hikmah, memulai dengannya dan memeliharanya. Apabila mad’u (obyek dakwah) memiliki sifat kasar dan suka menentang, maka dakwah kepadanya adalah dengan mau’izhah hasanah (nasehat yang baik), dan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berupa al-Wa’zh (nasehat) dan at-targhib (motivasi).

Apabila mad’u itu memiliki syubhat maka bantahlah dirinya dengan cara yang lebih baik dan jangan bersikap keras padanya, bersabarlah padanya dan jangan tergesa-gesa dan memperlakukannya dengan kasar. Tetapi, bersungguh-sunggahlah anda menyingkap syubhatnya dan menjelaskan dalil-dalilnya dengan cara yang baik.

Beginilah seyogyanya anda bersikap wahai da’i, legawa dan bersabar serta janganlah bersikap keras, karena hal ini lebih dekat di dalam mendapatkan manfaat dan penerimaannya kepada kebenaran serta lebih berpengaruh terhadap mad’u.  Dan bersabarlah padanya ketika berdebat dan berdiskusi.

Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan Musa dan Harun ketika Allah mengutus keduanya kepada Fir’aun, agar berkata kepadanya dengan ucapan yang lembut, padahal Fir’aun adalah seorang yang sangat melewati batas. Allah Jalla wa ’Ala berfirman di dalam menintahkan Musa dan Harun :

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

”Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS Thaha : 44)

Allah Subhanahu berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam :

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”  (QS Ali ’Imran : 159)

Dari hal di atas dapat diketahui, bahwa cara yang bijaksana dan jalan yang lurus di dalam dakwah (dapat dipenuhi) apabila seorang da’i bersikap hikmah di dalam dakwahnya, mendalam pemahamannya tentang sarana-sarana dakwah, tidak tergesa-gesa dan tidak pula bersikap bengis, namun ia berdakwah dengan hikmah, yaitu dengan ucapan yang terang dan selaras dengan kebenaran ayat-ayat (Al-Qur`an) dan hadits-hadits, dengan mau’izhah hasanah (pelajaran yang baik) dan berdebat dengan cara yang lebih baik. Inilah cara-cara yang selayaknya anda gunakan di dalam dakwah kepada Allah Azza wa Jalla.

Adapun dakwah dengan kebodohan, maka hal ini akan memudharatkan tidak mendatangkan manfaat, sebagaimana akan datang penjelasan hal ini insya Allah ketika menjelaskan tentang akhlak para da’i. Karena dakwah dengan kebodohan akan dalil-dalilnya sama dengan berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu, demikian pula dakwah dengan sikap bengis dan kasar, lebih banyak mudharatnya.

Sesungguhnya yang wajib dan disyariatkan adalah mengambil apa yang dijelaskan Allah Azza wa Jalla di dalam surat an-Nahl, yaitu firman-Nya Subhanahu :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ

”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah” (QS an-Nahl : 125)

Kecuali apabila tampak pada mad’u sikap penentangan dan kezhaliman, maka tidak mengapa bersikap keras padanya. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

”Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (QS at-Tahriim : 9)

Dan firman Allah Ta’ala :

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ

”Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka.” (QS al-Ankabut : 46)