MENGURAI BENANG KUSUT NIKAH SIRI
Oleh : Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Pernikahan adalah sebuah akad untuk menghalalkan hubungan yang agung dan luhur antara pria dengan wanita yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujun mencapai keluarga sakinah, mawaddah serta saling menyantuni antara keduanya.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum : 21)

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah : 187)

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".” (QS. Al-A’raf : 189)

Suatu akad pernikahan menurut hukum Islam ada yang sah dan ada yang tidak sah, hal ini dikarenakan akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan syar’I, sebaliknya akad yang tidak sah adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun pernikahan.

Diantara syarat-syarat pernikahan adalah :

Adanya kepastian siapa mempelai laki laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakn “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementra ia memiliki beberapa orang putri

Keridhaan dari masing-masing pihak. Dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam

لاتنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah / dimintai persetujuannya dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya” (HR Bukhari, Muslim)

Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda

لانكاح الا بولي

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali”. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dishahihkan Al Albani dalam Al irwa)

Beliau juga bersabda

أيما امرأة نكحت بغير اذن مواليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحها  باطل

 “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil" (HR Abu Daud dishahihkan al Albani rahimahullah)

Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali, maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan ini pendapat yang benar dan kuat.

Persaksian atas akad nikah tersebut, dalilnya Nabi shalallahu’alaii wasallam bersabda,
لا نكاح الا بولي وشاهدي عدل
“Tidak ada pernikahan kecuai dengan adanya wali dan dua saksi yang adil” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lainnya dishahihkan Al Albani)

Imam At Tirmidzi rahimahullah mengatakan “Pengamalan hal ini ada di kalangan Ahlul Ilmi, baik dari kalangan sahabat nabi shalallahu’alaihi wasallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin”. (Sunan At Tirmidzi 2/284)

Adapun rukun-rukun nikah adalah sebagai berikut;

Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan tidak terlarang secara syar’I untuk menikah, seperti adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan atau si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya.

Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Dengan mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (Aku nikahkan engkau dengan fulanah) atau “An kahtuka Fulanah” (Aku nikahkan engkau dengan Fulanah)

Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya dengan mengatakan “Qabiltu hadzan nikah atau qabiltu hadzat tazwij (Aku terima pernikahan ini) atau qabiltuha. (Lihat Majalah Asy Syariah edisi 39 tanggal 17 november 2011)

Menikah secara Siri

Nikah siri tampaknya telah menjadi topik pembicaraan yang cukup hangat di Indonesia, terlebih ketika banyak pihak yang melakukannya dari berbagai kalangan. Sehingga masyarakat pun mempopulerkan nya dengan berbagai istilah, seperti kawin bawah tangan, kawin diam-diam, kawin lari dan sebagainya.

Karena semakin ramainya istilah nikah siri dan semakin banyak yang menyukainya, orang-orang yang memiliki niat menghancurkan citra islam memanfaatkan istilah nikah siri ini utk melegalkan perbuatan haram seperti, prostitusi, mut’ah bahkan trafficking, seperti yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan, dengan munculanya sebuah situs yang menawarkan nikah siri online. Dan inilah yang patut untuk diwaspadai, sebab pernikahan adalah syariat yang suci, dan tidak ada hubungan yang dapat menjaga kesucian seorang muslim dan muslimah kecuali melalui pernikahan yang sah.

Dalam pengertian masyarakat ketika mendengar kata nikah siri, seringkali yang terbayang adalah nikah yang diharamkan. Padahal tidak juga, karena nikah siri ini tetap sah ketika memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Setidaknya ada tiga pengertian yang penting untuk diketahui menyangkut praktek nikah siri ini.

Pengertian pertama, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa saksi dan wali. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh imam asy syafi’I di dalam kitab al um. Diriwayatkan dari malik dari abu Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “Ini adalah nikah siri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya)”. (HR Malik, ahmad dan yang lainnya). Pernikahan siri dalam bentuk yang pertama hukumnya tidak sah.

Pengertian kedua, nikah siri adalah nikah yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khalayak ramai. Para Ulama pun berbeda pendapat tentang hukum nikah yang seperti ini. Ada yang menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh, dan ini pendapat mayoritas para ulama seperti imam syafi’I, imam ahmad dan yang lainnya, diantara alasannya adalah suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap telah sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khalayak umum. Namun ada juga yang berpendapat hukum nikahnya tidak sah.

Pengertian ketiga, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam Lembaga pencatatan negara, dalam hal ini adalah KUA. Hukum nikah dalam pengertian yang ketiga ini sah dan tidak bertentangan dengan ajaran islam karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi, sehingga tidak ada dosa.

Berkata al Allamah asy Syaikh Sholhh bin Fauzan al Fauzan hafidzahullah “ Apabila sudah terpenuhi syarat-syarat akad nikah, seperti adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya keridhaan dari kedua mempelai, maka nikahnya sah ditambah lagi jika tidak ada hal-hal syar’i yang menghalanginya walaupun tidak mengumumkannya kepada khalayak umum. Karena kehadiran saksi dan wali, ini sudah teranggap mengumumkan pernikahan, dan sebagai bentuk pengumuman yang paling minimal. Maka nikahnya sah insyaallah apabila terpenuhi padanya syarat-syarat yang telah disebutkan tadi, dan tentu semakin luas pengumumannya maka itu semakin utama”. (islamway.net)

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, pernikahan dibawah tangan atau nikah siri hukumnya sah. Asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah. “Rukun pernikahan dalam islam antara lain ada pengantin laki-laki, pengantin perempuan,wali, dua orang saksi, mahar serta ijab dan qabul”, kata Zainut kepada Republika.co.id, senin (25/9). Namun demikian MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, Nabi shalallahu’alaihi wasallam mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul’ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai wajib hukumnya, namun nabi shalallah’alihi wasallam sangat menganjurkannya.

Nabi shalallahu’alihi wasallm bersabda

اولم ولو بشاة

“Adakan walimah walaupun dengan (menyembelih) seekor kambing” (HR. Bukhari, Muslim)

Wallahu’alam.

Disalin Dari Majalah Qonitah Edisi 35/Vol 03/1439H - 2018

MENGURAI BENANG KUSUT NIKAH SIRI

🌴🍃🌾 ISTIGFAR UNTUK ORANG TUA
Dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ 
فَيَقُولُ: ياَ رَبِّ أَنَّى لِيْ هَذِهِ؟ 
فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَك

"Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di jannah (surga). Kemudian hamba itu berkata, ‘Wahai Rabbku, (bagaimana) aku bisa begini?’ Maka Allah berfirman, ‘Dengan sebab istigfar (permohonan ampun) anakmu untuk dirimu’.” [HR. Ibnu Majah]
Lihat Fathul Qadir, 5/142

Doa seorang anak yang saleh terhadap orang tuanya merupakan amal terpuji. Doa seorang anak saleh kepada orang tuanya merupakan hasil tarbiyah (pendidikan) kesalehan yang disemaikan pada diri sang anak.

Maka, walau di tengah kesibukan yang melilit, bagi seorang anak yang terhunjam kukuh kesalehan dalam dirinya, doa untuk orang tua senantiasa mengalir tiada henti. Hari demi hari diisi permohonan istigfar untuk orang tuanya.

Ya, Allah ya Ghafur, ampunilah kami dan orang tua kami. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun.

Penulis al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzohulloh 
🍃🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴

ISTIGFAR UNTUK ORANG TUA

🌴🌾🍃 MEMOHON KEBAGUSAN PERANGAI
Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha, ia bertutur,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ أََحْسَنْتَ خَلْقِي فَأََحْسِنْ خُلُقِي

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan (doa):

اللهم أحسنت خلقي فأحسن خلقي

Allahumma ahsanta khalqi, fa ahsin khuluqi

Ya Allah, Engkau telah membaguskan (keadaan) fisikku, maka baguskan pula perilakuku. [Lihat, Al-Irwa'u Al-Ghalil, 1/115]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan. Sikap dan perilaku beliau senantiasa mulia.

Beliau membimbing umatnya untuk memohon kepada Allah Subhanahu perihal kebagusan perilaku. Tak semata fisik yang diperindah, namun tutur kata, sikap dan perilaku pun hendaklah elok dipandang sesama.

Betapa terasa indah, nyaman dan aman bila tutur kata terukur. Tiada kata yang menyakiti teman seiring. Tiada sikap perbuatan yang meruntuhkan harga diri dan kehormatan sesama.

Apalah arti fisik cakap rupawan bila tiada disertai perilaku elok menawan. Tidak jujur, kasar, suka mencela orang. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu dari keburukan akhlak.

Ya, Allah Yang Maha Penyayang, baguskanlah akhlak kami. 

Penulis al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzohulloh 
🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴🌾

MEMOHON KEBAGUSAN PERANGAI

🌾🍃🌴 PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWWAL
Dari sahabat mulia Abu Ayub Al-Anshari radhiyallahu 'anhu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda

مَنْ صَامَ رَمَضانَ ثُمَّ أتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.

"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama satu tahun." [HR. Muslim, no. 116]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberi berita gembira bagi orang-orang yang beriman dengan satu amal yang akan memberi kebaikan bagi yang menunaikannya. 

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memotivasi umatnya untuk merengkuh kebaikan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal setelah pungkas menyelesaikan puasa Ramadhan. 

Berdasar hadits di atas, bila seseorang masih memiliki hutang puasa Ramadhan, hendaknya segera disempurnakan puasa Ramadhannya setelah itu tunaikan puasa enam hari Syawwal. Barangsiapa yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan lalu diikuti puasa Syawwal enam hari, maka terhitung baginya puasa selama setahun. 

Allah Ta'ala berfirman, 

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

"Barangsiapa melakukan amal kebaikan, maka baginya mendapat (pahala) semisal sepuluh kali lipat dari amalnya." [Surah Al-'An'am: 160]
 
Puasa Ramadhan memiliki kedudukan sepuluh bulan. Adapun puasa enam hari Syawwal memiliki kedudukan dua bulan. Sehingga semuanya 12 bulan atau satu tahun. 

Berpuasa enam hari Syawwal bisa ditunaikan secara terus menerus enam hari. Bisa juga ditunaikan secara tidak berurut atau tidak terus menerus. Hari ini puasa, besok tidak. Dua hari kemudian puasa Syawwal lagi, setelah itu tak berpuasa. Boleh tidak berurut asal tetap berpuasa selama di Bulan Syawwal, berpuasa enam hari. 
Allahu a'lam 

Semoga Allah Ta'ala memberi kemudahan bagi kita untuk melakukannya.

Penulis al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzohulloh 
🍃🌾🌴🍃🌾🌴🍃🌾🌴🍃🌾

PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWWAL

Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir rukuk, sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu anha,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ
“Rasulullah bertakbir pada (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali, selain dua takbir rukuk.” (HR. Abu Dawud dalam “Kitabush Shalat”, “Bab at-Takbir fil ’Idain”, ‘Aunul Ma’bud, 4/10; Ibnu Majah no. 1280; dinilai sahih oleh Syaikh al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1149)
Pertanyaan, “Apakah lima takbir pada rakaat yang kedua termasuk takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?”
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut adalah selain takbiratul intiqal. (al-Istidzkar, 7/52, dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan, “Tentang tujuh takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?”
1. Pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa tujuh takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178; Aunul Ma’bud, 4/6; Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah)
2. Pendapat Imam asy-Syafi’i, bahwa tujuh takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Tampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Imam asy-Syafi’i, berdasarkan riwayat yang mendukungnya. Riwayat tersebut dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً، سَبْعًا فِي الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ، سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الصَّلَاةِ
Adapun lafaz ad-Daraquthni,
سِوَى تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ
“Selain takbiratul ihram.”  (HR. ath-Thahawi dalam Ma’ani al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah; ad-Daruquthni, 2/47—48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan. Namanya Abdullah bin Abdurrahman ath-Thaifi. Akan tetapi, hadits ini dinilai sahih oleh Imam Ahmad, Ali bin al-Madini, dan Imam al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh at-Tirmidzi. (lihat at-Talkhis, 2/84, tahqiq as-Sayyid Abdullah Hasyim al-Yamani; at-Ta’liqul Mughni, 2/18; dan Tanwirul ‘Ainain, hlm. 158)
Bacaan surah pada dua rakaat shalat Id: semua surah yang ada boleh dan sah untuk dibaca.
Akan tetapi, dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca pada rakaat yang pertama “sabbihisma” (surah al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “hal ataaka” (surah al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama beliau membaca surat Qaf dan pada rakat kedua membaca surah al-Qamar. (Keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427—428)
1. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Imam asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat bahwa doa istiftah dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (al-Umm, 3/234 dan al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hlm. 149)
Khotbah Id
Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khotbah. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata,
شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
Dalam berkhotbah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar. Beliau mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Bahkan, beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan sedekah, karena kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku menyaksikan shalat Id bersama Rasulullah. Ketika selesai shalat, beliau berkata, ‘Kami berkhotbah, barang siapa ingin duduk untuk mendengarkan khotbah, silakan duduk. Barang siapa ingin pergi, silakan.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan an-Nasai; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun, alangkah baiknya untuk mendengarkan khotbah apabila itu berisi nasihat-nasihat untuk bertakwa kepada Allah shallallahu alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengan agama dan As-Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya apabila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah kecuali kekacauan di masyarakat. Wallahu a’lam.
Wanita yang Haid Tetap Berangkat
Sutrah adalah benda—bisa berupa tembok, tiang, tongkat, atau lainnya—yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya. Tingginya kurang lebih satu hasta.
Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak memerlukan dan diperbolehkan lewat di depan makmum. Ini adalah sunnah yang ditinggalkan oleh mayoritas manusia. Oleh karena itu, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam shalat Id.
“Dahulu, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya. Kemudian beliau shalat ke hadapannya, sedangkan orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu dalam safarnya. Dari situlah, para pimpinan melakukannya juga.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabush Shalat”, “Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah” dan “Kitabul ‘Idain”, “Bab ash-Shalat Ilal Harbah Yaumul ‘Id”;’ lihat al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
Apabila Masbuk (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, apabila pergi melalui suatu jalan menuju shalat Id agar pulang dari jalan yang berbeda. Itu adalah pendapat Imam Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan Ahmad … Seandainya dia pulang dari jalan yang sama, tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya. Di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166—167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)
Zaid menjawab, “Beliau shalat Id lalu memberikan keringanan pada shalat Jumat dan mengatakan, ‘Barang siapa ingin mengerjakan shalat Jumat, silakan shalat’.”
“Pendapat yang ketiga dan inilah yang benar, bahwa yang ikut shalat Id, maka gugur darinya kewajiban shalat Jumat. Akan tetapi, imam hendaklah tetap melaksanakan shalat Jumat supaya orang yang ingin mengikuti shalat Jumat dan orang yang tidak ikut shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Beliau mengatakan juga bahwa yang tidak shalat Jumat tetap melaksanakan shalat Zuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak shalat Zuhur pula, di antaranya Atha. Akan tetapi, ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat at-Tamhid, 10/270—271)
Ibnu Hajar mengatakan, “Kami meriwayatkan dalam al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata, ‘Apabila para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertemu pada hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain,
Ditulis oleh Ustadz Qomar ZA, Lc.

Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri Bagian 2

Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri

Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. 

Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun, barangkali hanya sedikit yang mau memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam “memaknainya”.
Pendahuluan
Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syariat pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Idul Adha. Karena itu, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat. Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai?
Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi Idul Fitri yang sebenarnya sebagaimana yang dimaukan oleh syariat.
Bila Ramadan sudah berjalan tiga minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian, arus mudik mulai meningkat, dan berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah-olah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syariat memang mutlak diperlukan. Jika tidak demikian, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dilihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan oleh syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Apabila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak. Tidak pula harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi. Tidak harus mudik juga karena bersilaturahim dengan sanak famili sebenarnya bisa dilakukan kapan saja. Dengan mengetahui bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi membutuhkan biaya besar. Semuanya akan terasa lebih mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.
Ibnu A’rabi mengatakan, “Id[1] dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (al-Lisan, hlm. 5)
Ibnu Taimiyah berkata, “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang, berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan, maupun bulanan.” (Dinukil dari Fathul Majid, hlm. 289, tahqiq al-Furayyan)
Id (hari raya) dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jumat.
“Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai dua hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Apa (yang kalian lakukan) dengan dua hari itu?” Mereka menjawab, “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliah.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Sahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani)
Shalat Id merupakan amalan sunnah yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa.
Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Shalat Id hukumnya fardu kifayah
Dengan demikian, jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya, mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari mazhab Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari mazhab Hanafi dan Syafi’i.
Hukumnya fardu ain (atas setiap orang), seperti halnya shalat Jumat.
Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Imam asy-Syafi’i (sendiri) mengatakan dalam (buku) Mukhtashar al-Muzani,
“Barang siapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat, dia juga wajib menghadiri shalat dua hari raya. Ini menegaskan bahwa hukumnya fardu ain.” (Diringkas dari Fathul Bari, Ibnu Rajab, 6/75—76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada—wallahu a’lam—adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut ini.
Dari Ummu Athiyah radhiyallahu anha ia mengatakan,
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid, dia menjauhi tempat shalat, tetapi ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin.
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim, ini lafaz Muslim, “Kitabul ‘Idain”, “Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa”)
Perhatikanlah perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits di atas untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbab pun tidak mendapatkan uzur. Dia tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
“Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya uzur … Sebab, keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat. Wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Id adalah bahwa shalat Id menggugurkan shalat Jumat bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan at-Ta’liqat ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179—186, as-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hlm. 344)
Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yang intinya, “Apakah untuk shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?”
“Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan, “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama, yaitu shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sering melakukan safar dan melakukan tiga kali umrah selain umrah haji. Beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau. Beliau pun berperang lebih dari dua puluh kali. Namun, tidak seorang pun menukilkan bahwa beliau melakukan shalat Jumat dan shalat Id dalam safarnya ….” (Majmu’ Fatawa, 24/177—178)
عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari Malik, dari Nafi, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan). (Sahih, HR. Malik dalam al-Muwaththa’, dan Imam asy-Syafi’i dari jalannya dalam al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada Ali radhiyallahu anhu tentang mandi. Ali radhiyallahu anhu berkata, “Mandilah setiap hari jika kamu mau.”
Ia menjawab, “Tidak, mandi yang benar-benar mandi.” Ali radhiyallahu anhu berkata, “Hari Jumat, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. al-Baihaqi, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’, 1/176—177)
عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Musa bin Uqbah, dari Nafi, bahwa Ibnu Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul Fitri. (Sahih, Riwayat al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata, “Disunnahkan untuk mandi pada hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi pada hari Id. Demikian pula yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa. Disunnahkan juga untuk memakai pakaian terbagus yang dia dapati serta memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)
Umar radhiyallahu anhu mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar. Kemudian dia membawanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Umar radhiyallahu anhu berkata, “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berkata, “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat) ….” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabul Jum’ah”, “Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi”, dan Muslim, “Kitab Libas waz Zinah”)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini hal yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)
Makan Sebelum Berangkat Shalat Id
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
 “Rasulullah tidak keluar di hari Idul Fitri sebelum beliau makan beberapa kurma.” Murajja’ bin Raja berkata, “Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya, “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj”)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat shalat Id. Di antara mereka adalah Ali dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
1. Menyelisihi ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
2. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
3. Shalat Idul Fitri disunnahkan dilaksanakan lebih siang (dibandingkan dengan Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda halnya dengan shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلَاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلَاةَ قَطَعَ التَّكْبِيرَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar di hari raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat hingga shalat dimulai. Apabila telah selesai shalat beliau berhenti bertakbir.” (Sahih, Mursal az-Zuhri, HR. Ibnu Abi Syaibah dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dengan syawahid-nya dalam ash-Shahihah, no. 171)
“Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin, yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat. Namun, banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran Nabi) ini sehingga hampir-hampir menjadi sekadar berita (tentang yang dahulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta menampakkannya terang-terangan.
Lafaz Takbir
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ
Namun, Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Said dari al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir. Dalam salah satu riwayat Ibnu Abbas disebutkan,
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)
Banyak ulama menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam selalu melaksanakan shalat dua hari raya di mushalla. Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam pergi pada hari Idul Adha ke Baqi lalu shalat dua rakaat. Beliau menghadap kepada kami dengan wajahnya dan mengatakan, ‘Sesungguhnya, awal ibadah kita pada hari ini dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang dan menyembelih kurban. Barang siapa yang sesuai dengan itu, berarti telah sesuai dengan sunnah ….’” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab Istiqbalul Imam an-Nas Fi Khuthbatil ‘Id”)
“Dalam hadits ini dijelaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar dan shalat di Baqi’. Namun, yang dimaksud bukanlah Nabi shalat di kuburan Baqi’, melainkan tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’. Nama Baqi’ meliputi seluruh daerah tersebut.
Ibnu Zabalah juga telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah (sampai) di lima tempat, hingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Rasulullah dahulu keluar pada hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla. Yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Beliau kemudian berpaling dan berdiri di hadapan manusia, sedangkan mereka duduk di saf-saf mereka. Kemudian beliau menasihati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Apabila beliau ingin mengutus suatu utusan, beliau melakukannya saat itu; atau beliau ingin memerintahkan sesuatu, beliau perintahkan saat itu, lalu beliau pergi.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitab al-’Idain”, “Bab al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar” dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, “Itu adalah tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
“Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, pergi bersama orang-orang pada hari Idul Fitri atau Idhul Adha. Ia mengingkari lambatnya imam. Ia pun berkata, ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Waktu itu adalah ketika tasbih.” (Sahih, HR. al-Bukhari secara mua’llaq, “Kitabul ‘Idain”, “Bab at-Tabkir Ilal ‘Id”, 2/456; Abu Dawud, “Kitabush Shalat”, “Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id”, 1135; Ibnu Majah “Kitab Iqamatush Shalah was Sunan fiha”, “Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain”, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Waktu tersebut adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang sahih yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani disebutkan, ketika waktu shalat sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal rahimahullah berkata,
“Para ahli fikih bersepakat bahwa shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (al-Fath, 2/457)
Ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah ketika terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini adalah pendapat Imam Malik.
Adapun pendapat yang pertama adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama. Sebab, menurut Ibnu Rajab rahimahullah, “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi bin Khadij, dan sekelompok tabiin bahwa mereka tidak keluar menuju shalat Id kecuali ketika matahari telah terbit. Bahkan, sebagian mereka shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Apakah Waktu Idul Fitri Lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
2. Waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri disunnahkan diakhirkan, sedangkan waktu pelaksanaan shalat Idul Adha disunnahkan disegerakan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad.
Pendapat kedua ini dianggap kuat oleh Ibnu Qayyim. Beliau mengatakan, “Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam melambatkan shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Ibnu Umar, dengan semangatnya untuk mengikuti As-Sunnah, tidak keluar hingga matahari telah terbit dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427; Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmah melambatkan shalat Idul Fitri ialah semakin meluas waktu yang disunnahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Adapun hikmah menyegerakan shalat Idul Adha ialah semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberati manusia untuk menahan diri tidak makan hingga mereka memakan hasil kurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105—106)
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلَا يَوْمَ الْأَضْحَى. ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِينٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ: أَنْ لَا أَذَانَ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِينَ يَخْرُجُ الْإِمَامُ وَلَا بَعْدَ مَا يَخْرُجُ، وَلَا إِقَامَةَ وَلَا نِدَاءَ وَلَا شَيْءَ، لَا نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلَا إِقَامَةَ
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini, yaitu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan Umar radhiyallahu anhuma melakukan shalat Id tanpa azan dan iqamah.”
Imam Malik rahimahullah berkata, “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami. Para ulama bersepakat bahwa azan dan iqamah dalam shalat dua hari raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan:
Namun, pendapat yang kuat bahwa seruan ini juga tidak disyariatkan.
Adapun riwayat dari az-Zuhri merupakan riwayat mursal, yang tentu tergolong dha’if (lemah). Sementara itu, pengkiasan dengan shalat Kusuf tidaklah tepat karena keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya, pada shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga diperlukan seruan semacam itu, sementara pada shalat Id tidak demikian. Orang-orang justru sudah berangkat menuju tempat shalat dan berkumpul di sana. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata, “Pengkiasan di sini tidak sah. Sebab, ada dalil sahih yang menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak ada azan dan iqamah atau apa pun untuk shalat Id. Dari sini diketahui bahwa panggilan untuk shalat Id adalah bid’ah, dengan lafaz apa pun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau memulai shalat tanpa azan dan iqamah, juga tanpa ucapan “ash-shalatu jami’ah.” Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatu pun dari (panggilan-panggilan) itu.” (Zadul Ma’ad, 1/427)
Pada prinsipnya, tata caranya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun, ada sedikit perbedaan, yaitu ditambah takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua ditambah 5 kali takbir, selain takbiratul intiqal (takbir perpindahan gerakan).

*Bagian 1

Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri Bagian 1

🌴🍃🌾 PRODUKTIVITAS AMAL PENUH MANFAAT MASLAHAT DI BULAN RAMADHAN
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ

"Termasuk baik keislaman seseorang, yaitu meninggalkan sesuatu yang tiada bermanfaat." [HR. At-Tirmidzi, no. 2317 dan Ibnu Majah, no. 3976]

Setiap aktifitas yang dilakukan seseorang hendaklah bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Tidak merupakan sesuatu yang sia-sia.

Seseorang didorong untuk beramal yang memberi nilai maslahat bagi diri dan sesama, maslahat di dunia dan akhirat. Tidak sekadar diam berpangku tangan.

Melakukan sesuatu yang tiada memberi manfaat, merupakan perkara yang harus dihindari. Kebagusan Islam seseorang terlihat tatkala ia meninggalkan perkara yang tak bermanfaat.

Islam menyukai produktivitas berasas manfaat. Manfaat dunia dan akhirat. Bulan Ramadhan adalah saat bernilai bagi seorang hamba beriman untuk terus menerus melecut diri guna melahirkan amal dan ibadah sarat manfaat dan maslahat. Tak semata bagi diri, lebih dari itu memberi dampak luas terhadap sesama. Spektrum kesalehan menebar luas ke tengah kehidupan bermasyarakat. Ramadhan bulan sarat keberkahan.

Semoga Allah Subhanahu menerima amal dan ibadah kita, mengampuni dosa-dosa kita dan memasukan kita ke dalam jannah yang penuh kenikmatan.

Penulis al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzohulloh 
🌴🍃🌾🌴🍃🌾🌴🍃🌾🌴🍃

PRODUKTIVITAS AMAL PENUH MANFAAT MASLAHAT DI BULAN RAMADHAN